Setelah menunggu lama, akhirnya Pemerintah menetapkan Undang-undang Perlindungan Saksi dan Korban yang disahkan pada tanggal 18 Juli 2006 lalu. Dengan demikian diharapkan seorang pelapor suatu tindak kejahatan, akan mendapatkan pelindungan dalam memberikan kesaksian akan suatu kejahatan.
Namun kenyataan yang terjadi adalah begitu banyaknya kelemahan dari UU No. 7 Tahun 2006 tersebut. Terlihat dengan perbedaan yang sangat mencolok dalam melindungi seorang pelapor dan seorang saksi, sehingga seorang pelapor tidak mendapatkan perlindungan yang lebih lengkap seperti seorang saksi. Hal ini tentunya akan menimbulkan keengganan pelapor pada suatu kejahatan misalnya kasus korupsi.
Masalah lain akan timbul ketika seorang saksi dan korban mendapatkan hak untuk memiliki identitas baru dengan KTP serta Kartu Keluarga baru. Birokrasi dalam pembuatan identitas sangat diragukan karena melibatkan banyak pihak sehingga kemungkinan terbongkarnya identitas asli saksi dan korban bisa saja terjadi sewaktu-waktu.
Selain itu adanya Lembaga perlindungan saksi dan korban dipertanyakan efektivitasnya.