Undang-Undang Bantuan Hukum yang sudah diketok palu saat sidang paripurna pada 4 Oktober 2011 diharapkan berjalan mulus pada tahun 2013. Seperti kita ketahui bersama akan ada panitia yang menurut Undang-Undang, bertugas melakukan verifikasi dan akreditasi terhadap Lembaga Pemberi Bantuan Hukum (LPBH). Pemberi Bantuan Hukum adalah lembaga bantuan hukum atau organisasi kemasyarakatan yang memberi layanan bantuan hukum berdasarkan Undang-Undang. Lembaga mana saja yang masuk kategori LPBH dan apa saja standar yang harus dipenuhi dalam pemberian bantuan hukum kini berada di tangan Menteri Hukum dan HAM. Menteri juga yang akan menyusun rencana anggaran bantuan hukum. Yang pasti pemberian bantuan hukum akan terkonsentrasi di Kementerian Hukum dan HAM.
Karena terkonsentrasi di Kementerian Hukum dan HAM sesuai pasal 6 ayat (2) berisi: pemberian bantuan hukum kepada penerima bantuan hukum diselenggarakan oleh menteri dan dilaksanakan oleh menteri dan dilaksanakan oleh pemberi bantuan hukum berdasarkan undang-undang ini. Maka yang jadi pertanyaan besar bila masyarakat yang termajinalkan secara sosial dan politik dan ingin melakukan gugatan terhadap pemerintah maka tidak ada proses independesi yang berjalan.
Seharusnya Undang-Undang Bantuan Hukum diperuntukkan bukan hanya pada masyarakat yang berkategori miskin secara ekonomi tetapi juga bagi mereka yang termajinalkan secara sosial dan politik. Apalagi sanksi pidana penyalahgunaan bantuan hukum probono seperti dalam pasal 21 yang mengancam pidana satu tahun penjara dan/atau denda maksimal Rp50 juta setiap pemberi bantuan hukum yang menerima sesuatu apapun dari Penerima Bantuan Hukum. Frasa “sesuatu apapun” tak diperjelas dan dapat membias menjadi jebakan bagi pemberi bantuan hukum. Seandainya kalau pemberi bantuan hukum menerima sepotong roti dari penerima bantuan hukum, apakah itu termasuk tindak pidana?